Sore itu seorang teman memberikan saya sebuah gantungan kunci terbuat dari kuningan dengan bentuk lingkaran, ditengah-tengahnya tertulis kata “Malaysia” dengan menara petronas dibelakangnya. Sesudah saya ucapkan terima kasih saya teringat dengan kasus runyam Indonesia-malaysia akhir-akhir kemarin yang melibatkan pertentangan dalam sisi budaya, demi membaca kata yang ada ditengahnya yang sampai-sampai kata itu diplesetkan menjadi “Malingsia”.
Sebenarnya kita mengetahui dengan tepat tidak ya apa yang terjadi? Yakinkah kita info yang kita dapat sudah benar? Apa bukan arah pemikiran kita dan info yang kita dapat sudah dipengaruhi oleh media? Atau memang mulut dan pikiran kita terlalu tergesa tuk menjudge sesuatu tanpa harus menunggu dan menganalisis dulu? Itulah kekuatan media dalam mengekspos suatu wacana menjadi paradigma berpikir. Dikemas dalam good looking wrap kemudian disajikan dalam delicious breakfast dan menghasilkan missing link information without responsibility. Mulai saat ini hati-hati terhadap pers. Kiranya benar bila seorang pemburu berita bisa membunuh.
Seperti halnya pemberitaan klaim Malaysia atas budaya kita, budaya Indonesia. Berita yang ada diberbagai media begitu gencar menuduh Malaysia mencuri budaya kita, kemudian mempatenkannya. Dengan dalaih mempertahankan kedaulatan budaya sendiri sadakah bahwa tiap kalimat yang disampaikan diselingi sedikit bibit kebencian. Sehingga tak lama berselang para mahasiswa yang notabene masih memiliki semangat besar namun dengan intelektual tak sebanding, mengeluarkan suara dalam bentuk demo,dalam bentuk protes dan terakhir yang begitu mengharukan adalah dalam bentuk perusakan dan pembangkangan. Membeo adalah mengupas kulitnya tanpa memahami isinya. Khas dengan kemerosotan moral yang sedang terjadi.
Perdana Menteri Malaysia menyampaikan awal titik masalah terjadinya sengketa itu adalah ditangan media, namun kini media malah mundur teratur ketika fakta itu diungkapkan oleh pihak Malaysia. Dalam suatu situs disebutkan bahwa budaya Indonesia yang diklaim itu antara lain, Reog Ponorogo, kerajinan Batik, lagu rasa sayange, alat music angklung, dan makanan khas padang rending. Disitus itu tertulis budaya asli Malaysia. Rumpun melayu kaya akan kata untuk mengekspresikan suara. Kata “asli” didalam situs itu memang benar adanya bila diartikan menggunakan bahasa melayu Malaysia yang berarti adalah “tradisional”. Bukan “asli” menurut pemahaman melayu Indonesia yang berarti “otentik” . seperti halnya kata “ahli” dalam penggunaan bahasa melayu Malaysia yang berarti “anggota” sedang bila dimaknai secara melayu Indonesia berarti “pakar”. Terkuak sudah inti permasalahan itu hanyalah terletak pada pemahaman salah satu kata atau kalimat.
Namun dalam hal ini ada pihak-pihak tertentu yang tidak menyukai akan keharmonisan suku yang dulunya disatukan oleh sebuah kerajaan diraja yang sangat terkenal dengan patih Gajah Madanya. Indonesia Malaysia adalah negeri subur dimana Majapahit menjadi suatu kedaulatan tertinggi. Dalam persaudaraan kesukuan dan keberbudayaan. Sehingga reaksi berlebihan atas hal ini bukanlah jalan yang tebaik. Sampai ada yang berpendapat bahwa Malaysia mencari masalah. sampai harus mempatenkan hak budaya. Budaya itu karya manusia, budaya itu interaksi antara satu manusia dengan manusia yang lain. Budaya tidak untuk diklaim dipatenkan atau dimiliki sendiri, budaya itu tujuannya untuk dishare dibagi dengan sesame. Kalau kita lihat definisi patent setelah saya search di Wikipedia(lupakan sejenak tentang kualitas dan validitas Wikipedia).Sangatlah tidak cocok dengan kandungan makna yang disandang oleh kata budaya itu sendiri.
A patent is not a right to practice or use the invention. Rather, a patent provides the right to exclude others from making, using, selling, offering for sale, or importing the patented invention for the term of the patent[…]
Exclude others?
Apa iya budaya juga harus dipatenkan? Bila definisinya seperti itu?
Apa sudah terselesaikan sengketa itu, menurut saya sudah. Semua sudah duduk pada kursinya masing-masing. Kata sepakat sudah diambil dikalangan pejabat dan para pakar budaya. Sekarang apa yang terjadi dengan yang telah terhasut? Sebenarnya kita harus berterima kasih kepada Malaysia. Apa sebab? Dengan tanpa sengaja Malaysia memberikan pelajaran kepada kita, untuk lebih mencintai budaya kita, melestarikan dan paling tidak kita faham dan tahu tentang budaya sendiri. Malaysia memberikan andil besar dalam mendidik intuisi berpikir kita tentang budaya. Kok bisa?
Coba tolong anda jawab apa yang saya tanyakan?
Anda mencintai budaya anda sendiri?
(+)Ketika Malaysia mengklaim budaya anda sebagai budaya mereka apa perasaan anda? Marah? Jengkel? Sakit hati?
(-)Anda yang Mahasiswa besok kuliah paginya pake batik ya?
(+)Ketika Malaysia melalui situsnya mengatakan budaya kita adalah budaya asli mereka apakaha anda marah?
(-)kalau seandainya anda saya kasih 2 tiket yang satu menonton pertunjukan konser grup music terkenal dan satunya adalah tiket menonton pertunjukan reog ponorogo, tiket mana yang anda pilih?
Sudah anda jawab 2 pasang pertanyaan diatas? Apa jawaban yang anda dapat? Kebanyakan dari responden yang saya tanyakan adalah jawaban mereka akan bertentangan antara tiap pasangan itu. Pada pertanyaan yang saya tandai dengan symbol positif anda akan dengan yakin mengiyakan karena info yang anda dapat belum memadai tuk bisa dipertanggung jawabkan. Sedang di pertanyaan yang saya tandai symbol negative akan terjadi keraguan didalam pemikiran anda dan kebanyakan jawabannya adalah bertentangan dengan pertanyaan sebelumnya. Anda akan menjadi gusar ketika dari 2 pasang pertanyaan itu akan menggambarkan betapa anda secara tidak sadar malah meninggalkan budaya anda sendiri. Namun kenapa anda harus marah ketika ada pihak lain yang mengklaim budaya anda?
Sampai titik ini masalah ternyata ada didalam jiwa bangsa sendiri. Bukan pada klaim Malaysia. Kita malu untuk terjun langsung dalam budaya ini namun kita marah bila ada yang mengambilnya. Kita lebih suka masuk twenty one ketimbang melihat pertunjukan wayang. Kita mengucapkan tidak pada tempatnya memakai batik ketimbang mondar-mandir di mall memakai pakaian urban life style. Bukankah itu indikasi bahwa masalah ada di moral penghuni budayanya.
Titik masalah sudah jelas kemerosotan moral budaya sedang berlangsung. Gunakan pikiran jernih, duduk tenang, analisa dengan benar, baru kemudian keluarkan argument. Bukan menonjolkan amarah dan kebencian. Yakinlah bahwa budaya itu masih milik kita hingga saat ini.

Sumber :
 Antara News
 Metrotvnews.com


Add to Technorati Favorites