Merokok adalah kegiatan yang sangat menyenangkan, setidaknya bagi sebagian orang. Saya koreksi, bagi sebagian kecil orang. Sifat mencandu ini adalah ‘kelebihan’ yang ditimbulkan dari rokok. Dimulai dari sedikit kemudian semakin sering,mencoba kemudian ketagihan. Itulah sebagian kenikmatan merokok. Sebatang rokok yang kental akan aroma pemuasan
Perpaduan hebat antara tembakau dan cengkeh memberikan lebih banyak racun daripada asap. Namun racun yang muncul dari sebatang rokok itu masih kalah dibanding dengan kenikmatan yang ditimbulkan. Efek mematikan dari rokok terhindarkan olehrasa nikmat ketika menghirupnya. Yang lebih aneh lagi si perokok tahu bahwa rokok itu mematikan namun karena kenikmatan yang ditimbulkan mengaburkan efek itu, ya biarlah tetap merokok.
Bahkan banyak istilah yang timbul dari kenikmatan rokok ini yang secara sadar si pengguna memahami bahayanya. Sama halnya dengan memompa adrenalin, mereka yang hobi memompa adrenalin paham betul akan bahaya atau efek dari kegiatan untuk memompa adrenalin ini, namun bagi penikmat adrenalin. Kegiatan itu kalah bila dibandingkan dengan kepuasan ketika adrenalin disemprotkan dijantung mereka.
Seorang teman pernah bilang ‘bagaikan habis diledek orang ngga bales, kalau sehabis makan ngga merokok’ , nyambung ngga ya? Mereka sadar akan efek dari rokok, sadar sesadar-sadarnya, namun kenikmatan candu itu mengalahkannya hingga tiba efek sesungguhnya yang datang.
Sama halnya dengan efek racun kimia dari obat-obatan sintetis, para penggunanya sadar bahwa sintetis kimia yang menjadi bahan dasar dari obat yg mereka minum adalah bahaya. Namun karena obat itu telah berungkali menyembuhkannya, mereka dengan sukarela menyerahkan organ mereka untuk dirusak. Lebih hebat lagi para ahli obat-juru sembuh- mereka tahu efek samping dari obat yang mereka berikan namun mereka acuh dan tak kalah hebatnya efek samping itu mereka tangani lagi dengan racun kimia sintetis lagi yang mereka sebut obat. Jadilah efek berantai dari keracunan, organ sakit ‘diobati’ dengan racun kemudian timbul efek dan efek itu ‘diobati’ lagi dengan racun. Saya menyebutnya chain reaction of toxic, Kayak nama film aja.
Maka ketika anak saya pernah menyebutkan cita-citanya kepada saya, bahwa dia ingin jadi seorang dokter saya kasih masukan saja kepadanya. ‘nak kalau kelak engkau jadi dokter, bangunlah rumah sehat bagi pasien, jangan rumah sakit’. Maka benar apabila orang dulu sering bilang ‘semakin banyak dokter,semakin banyak pula macam penyakit’. Gimana ngga segala jenis racun juga semkain kompleks dan bervariasi. Dan anehnya mereka menyebutnya obat.
Bagaimana dengan jabatan, kedudukan atau pangkat? Ya itulah yang saya ingin katakana tentang ‘Idiologi’ sebatang rokok. Masa kampanye menjelang, kata seorang teman lagi ‘masa kayak gini nih dimana uang tak lagi ada harganya bagi para pejabat’ , ‘kok bisa?’ timpalku. ‘lah gimana engga, buat kampanye dah nabung sejak 4 tahun yg lalu ketika rencana disusun, kampanye menjelang tabungan 4 tahun itu dihabiskan begitu saja hanya tuk mencari jalan suapaya dapet kekuasan yang semu.’
Para balon-bakal calon- itu sadar sesadar-sadarnya kalau mereka perasa keringat, banting tulang tuk mengumpulkan duit sebanyak yang dibutuhkan buat kampanye. Namun kerja keras mereka itu kalah oleh kenikmatan ketika mejabat kelak. Padahal itupun belum tentu menang. Sekali lagi ‘idiologi’ sebatang rokok masih melekat disana. Efek candu itu dikalahkan oleh kenikmatan yang semu dan sesaat. Kenikmatan yang ditimbulkan oleh sebatang rokok hanya sebatas sebelum habisnya sebatang rokok itu. Ketika semua bagian telah menjadi abu kenikmatan itu hilang. Dan menyisakan efek candu dan racun yang akan ditanggung seumur hidup. Sama halnya dengan prak tek juru sembuh tadi, sama halnya dengan kerja keras para balon tadi tuk kampanyenya. Sama halnya dengan banyak sekali kejadian yang kadang terlewat oleh nalar kita.
Apa yang saya tulis diatas intinya adalah banyak sekali kenikmatan yang kita rasakan didunia ini intinya adalah semu belaka, palsu, sebentar, tak hakiki namun tanpa kita sadari dibaliknya malah ada efek fatal yang menantinya. Ah….kadang saya juga tidak sadar